Sungkeman khayalan

 


Khayalan itu selalu ada, terngiang-ngiang menghantui perasaan dan isi kepala. 

Sore itu, bau tanah serta dedaunan kering diguyur hujan deras menyelimuti indahnya dusun perkampungan. Hari ini adalah hari pertama aku sampai di kampung halaman. Kampung penuh kenangan dan keindahan.

Kampungku berada di Kota Magelang. Sejak kecil, aku selalu menyukai kegiatan “Mudik” lebaran yang menjadi tradisi keluarga kami. Perjalanan kami dari Jakarta-Magelang memakan waktu selama kurang lebih 10 jam. Biasanya kami melewati jalur utara, namun karena kami menggunakan program mudik gratis, kami melewati jalur selatan. 

Kami harus turun di Kota Yogyakarta dan melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman di Magelang. Dari Yogyakarta ke Magelang memakan waktu selama dua jam perjalanan. Baju yang aku pakai terasa lepek, mata memerah, dan badan terasa lemas. 

Aku merasa sangat lelah setelah melalui perjalanan panjang dari kota Jakarta ke Magelang. Kami memutuskan untuk menginap di rumah bulek kami. Bulek kami bernama Mularsih. Dalam bahasa Indonesia, bulek memiliki arti tante atau adik dari silsilah keluarga bapak atau ibu. 

Hari raya lebaran adalah momentum yang sangat aku tunggu. Aku pun banyak menghabiskan waktu bersama keluargaku. Bercerita, bercanda dan memasak bersama. Sebelum hari raya lebaran, biasanya di kampungku kerap diadakan kegiatan “Nyadran”. 

Kegiatan ini merupakan kegiatan mengaji bersama dan halal bihalal untuk saling bersilaturahmi antara masyarakat desa. Setiap kepala keluarga diwajibkan membawa makanan untuk saling ditukar dan dimakan bersama-sama. 

Menurut ketua desa setempat, "Nyadran" merupakan budaya Jawa secara turun temurun dan sudah ada sejak dulu. Nyandran di kampungku diadakan di Pamong Desa Pusdik Tegalrejo, Magelang. 

Jamaah laki-laki berbondong-bondong datang untuk mengaji bersama setelah shalat tarawih selesai. Mereka datang dengan membawa makanan yang akan dibagikan setelah selesai mengaji dan untuk dimakan bersama. Kebersamaan tentu sangat erat terjalin silaturahminya.

Sebelum datangnya hari raya lebaran, aku kerap diajak pergi ke pasar setiap pagi untuk belanja sayuran. Pasar yang aku datangi adalah Pasar Tegalrejo. Kami membeli sayuran yang akan diolah untuk berbuka puasa di rumah mbah. 

Kebetulan, rumah mbah dan bulek berdekatan. Hanya berjarak beberapa rumah saja. Setiap sore, aku dan keluargaku masak secara bersama-sama di dapur rumah mbah. Wajah mbah kerap kali terlihat sumringah dan penuh tawa saat kami berkumpul di rumahnya. Mbahku sering bercerita masa kecilnya saat masih terdapat penjajahan Jepang.

Mbah merupakan orang asli Klaten. Ia bertemu dengan mbah putri di Magelang saat ia kabur dari kejaran penjajah Jepang. Merekapun menikah dan dikaruniai 11 orang anak. 

Namun, 5 orang anaknya telah meninggal dunia. Kini, hanya tersisa 6 orang anak dari mbah putri serta mbah kakung. Salah satunya yang telah tiada adalah ibuku. Kami pun saling bercanda mengenang masa-masa saat keluarga kami masih lengkap. 

Hari berganti hati, detik berganti detik. Tak terasa hari raya lebaran semakin dekat. Kegiatan yang aku lakukan adalah membersihkan rumah, menempati kue-kue di toples, dan memasak makanan khas hari raya. Seperti ketupat, opor, sayur cek-cek, dan juga kerupuk bayam yang menjadi khas keluarga kami.

Pada saat hari raya lebaran keluarga kami kerap melakukan sungkeman kepada orang yang lebih tua. Seperti nenek, kakek, ibu, bapak, dan orang tua lainnya. Namun, tahun ini berbeda. Ibuku telah tiada. 

Biasanya aku selalu menunggu waktu lebaran sebagai momen yang sangat indah. Saling bermaaf-maafan, sungkeman, dan saling didoakan dengan mengelus kepala yang dilakukan oleh para orang tua. 

Kegiatan sungkeman adalah budaya yang paling aku tunggu. Karena aku akan didoakan oleh para orang tua dan dianggap mujarab doa-doanya. 

“sini sungkeman dulu karena sungkeman bagian dari budaya jawa. Pertanda orang tua peduli dan ingin mendoakan anak, cucu, cicitnya,” ucap mbah kakungku.

Sungkeman sendiri memiliki arti saling meminta maaf dengan duduk lebih rendah menghormati yang lebih tua. Aku sangat menyukai budaya sungkeman. Berderai air mata kerap menjadi pemandangan yang menyelimuti hari raya saat sungkeman. Terutama kepada orang tua, ibu, bapak, mbah kakung dan yang lainnya.

Ibuku merupakan anak ke empat dari sebelas bersaudara. Ibu meninggal dikarenakan sakit yang ia derita. Biasanya, ibu sangat senang jika kami melakukan kegiatan mudik. Kini, yang tersisa hanyalah khayalan. 

Khayalan akan ibu di sampingku. Aku pun berkaca-kaca dan merasa kesesakkan dada sejadi-jadinya melihat makam ibu. Ibu yang sangat aku cintai. Lebaran tahun ini pun terasa berbeda. Air mata berderai menatap makam penuh dedaunan kering menyelimutinya. 

Setelah shalat Eid, aku langsung bergegas menuju makam keluarga untuk mendoakan mereka yang telah tiada. Mataku berkaca-kaca, melihat kakak menangis yang membuat aku juga ingin menangis. Hidung yang mulai tersumbat ingus dan rasa sesak di dada melihat anggota keluargaku yang tak lengkap lagi.

Aku pun mengelus dadaku. Berusaha menguatkan bahwa saat ini, aku hanya bisa melakukan sungkeman khayalan. Hanya doa yang dapat mengiringinya. Tubuhnya pun tak dapat ku gapai dan ku sentuh. 

Hanya bebatuan dan tanah merah yang menyelimuti makam dengan bunga-bunga cantik dan wangi. Aku mengelus pohon yang menancap di kuburan ibu. Membayangkan wajah lembutnya yang penuh keteduhan. 

Momen lebaran kali ini adalah momen tersedih yang pernah aku alami. Karena, kehilangan orang tua adalah luka terberat seorang anak yang tak kunjung sembuh. Rindu tak berpenghujung yang kerap menghantui diriku dan tidak dapat berbuat apa-apa selain hanya mendoakannya. 

Khayalan bersamanya pun terus membersamaiku. Berharap ia datang ke dalam mimpiku untuk kedua kalinya. Kini, aku akan selalu mendoakannya. Walaupun, aku harus melakukan sungkeman khayalan. 

Sungkeman yang hanya bisa membayangkan wajah ibu berada di hadapanku. Ibu pergi dan lupa mengajarkan akan satu hal. Ibu lupa mengajarkan cara bagaimana hidup tanpa dirinya. aku tidak tahu bagaimana cara hidup tanpa dirinya. Sungkeman khayalan lah yang hanya dapat aku lakukan. Menangisinya dan berdoa kepada Tuhan. Berharap rindu dan maaf tersampaikan kepadanya.

Posting Komentar

0 Komentar