Mengenal Lebih Dalam KBGO dan Bagaimana Cara Menyikapinya?

Pinterest.com

Saat ini kecanggihan teknologi tidak dapat dipungkiri lagi. Berbagai macam kegiatan kerap menggunakan teknologi. Mulai dari belanja online, belajar online, bahkan chatting secara online. Sehingga masyarakat menjadi lebih mudah dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dengan bantuan teknologi. Namun, sayangnya kerap terdapat oknum yang menyalahgunakan teknologi untuk hal-hal yang tidak baik. Penggunaan media sosial secara pesat pun memunculkan bentuk-bentuk kekerasan salah satunya KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online).

KBGO atau Kekerasan Berbasis Gender Online adalah kekerasan yang terjadi atas dasar relasi kuasa gender antara korban dan pelaku di ranah online atau yang menggunakan teknologi digital sebagai medianya dan tidak terbatas diakses melalui internet. Menurut SAFENet, KBGO adalah kekerasan yang memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual dengan menggunakan teknologi. Istilah KBGO bukanlah satu-satunya. Komnas Perempuan menyebut kasus KBGO sebagai Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG). Sedangkan, dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dikenal dengan istilah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).

Belum lama ini dunia jagat maya dihebohkan dengan video asusila berdurasi 47 detik yang diunggah oleh akun Twitter bernama @dedekgemes. Video itu diduga diperankan oleh artis bernama Rebecca Kloppers. Hal ini, tentu membuat heboh karena merupakan salah satu contoh KBGO yang terjadi di dunia maya. Kasus ini tergolong Revenge Porn, yaitu ancaman penyebaran konten seksual yang menampilkan korban, dilakukan dengan motif balas dendam karena pelaku tidak terima diputuskan hubungannya dan memaksa korban untuk kembali kepadanya. Penyebaran konten seksual ini tentu dilakukan tanpa persetujuan korban.

Menurut data dari Catahu (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan tahun 2019, KBGO meningkat secara pesat mulai dari tahun 2014 (6%), 2015 (17%), 2016 (5%), 2017 (65%), dan 2018 (97%). Pelakunya pun sebanyak 61% adalah pasangan dan orang terdekat serta 39% pelakunya adalah teman, dan orang tak dikenal. Komnas Perempuan mencatat, tahun 2017 ada 16 pengaduan KBGO. Angka ini meningkat menjadi 97 kasus di tahun 2018, 281 kasus di tahun 2019, dan pada rentang Januari-Oktober 2020 terdapat 659 kasus (Khairunisa, 2020). Tingginya angka KBGO tidak berarti semuanya tertangani. LBH Apik Jakarta misalnya mencatat dari 489 kasus KBGO, hanya 25 kasus yang dilaporkan ke polisi, dan 2 kasus yang masuk proses peradilan (Susanti, 2021).

Dari kasus video syur Rebecca Kloppers, pelaku dijerat UU Pasal 45 ayat 1, juncto pasal 27 ayat 1 UU RI No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Atas dugaan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan. Selain itu terjerat pula Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 29 atau Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 tentang pornografi.

KBGO sendiri memiliki banyak dampak buruk bagi korban. Kerugian psikologis menjadi hal yang utama paling berbahaya sebagai dampak KBGO. Karena dampak ini akan ada seumur hidup di diri korban. Korban akan mengalami depresi, kecemasan, ketakutan, bahkan muncul keinginan untuk melakukan bunuh diri. Hal ini tentu sangat berbahaya karena mengancam nyawa seseorang. Apa yang harus dilakukan jika seseorang menjadi korban KBGO?

Seseorang yang mengalami kasus KBGO dapat menyimpan barang bukti berupa screenshoot yang menunjukkan kalimat ancaman yang disebutkan pelaku, simpan barang bukti di tempat aman lalu buatlah kronologisnya, batasilah akses komunikasi dengan pelaku dengan cara memblokir pelaku, deaktivasi akun digital sementara, atau menghapus akun secara permanen. Lakukanlah pemetaan risiko dalam masalah ini dan lapor ke lembaga terkait yang dapat menangani masalah KBGO.

Apabila menemukan konten di media sosial yang mengandung kekerasan seksual maka berhenti di kamu. Jangan di-share atau diposting ulang walaupun tidak terlihat identitas asli seseorang. Karena akan membuat korban semakin trauma dan berdampak buruk pada kesehatan mentalnya.

Sumber foto : pinterest.com 

Posting Komentar

0 Komentar